Bukan Obat Tradisional, Pemanfaatan Fitofarmaka Bisa Dibiayai BPJS Kesehatan?

Bukan Obat Tradisional, Pemanfaatan Fitofarmaka Bisa Dibiayai BPJS Kesehatan?

kaptenberita.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan bahwa salah satu bentuk implementasi Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 adalah pemanfaatan fitofarmaka.

Plt. Direktur Produksi dan juga Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eka Purnamasari mengatakan melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022, tentang percepatan pemakaian produk-produk dalam negeri, Presiden Jokowi sudah menegaskan kembali dukungan keberpihakan pemerintah terhadap pemakaian barang dalam negeri, termasuk fitofarmaka.

Read More

“Fitofarmaka merupakan komoditas unggulan hasil pengembangan obat komponen alam Indonesia yang dimaksud sudah dibuktikan keamanan kemudian khasiatnya secara ilmiah melalui uji pra klinik dan juga uji klinik,” paparnya saat membuka “Workshop Fitofarmaka Bagi Tenaga Kesehatan kemudian Tenaga Medis”, Kamis (5/10/2023).

Ia mengemukakan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 6/2022 sudah diterbitkan untuk pemanfaatan dana di tempat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik pemerintah dalam penyelenggaraan Fitofarmaka.

Selain itu, infrastruktur kesehatan juga mampu menggunakan dana alokasi khusus. Kemenkes juga sudah membuka etalase fitofarmaka dan juga obat herbal terstandar dalam e-Katalog.

“Belanja fitofarmaka lalu OHT mencapai Rp 11,9 miliar di area faskes pemerintah. Kemenkes berharap adanya peningkatan penyelenggaraan fitofarmaka di tempat infrastruktur kesehatan,” katanya.

Selanjutnya, Staf Khusus Menteri Kesehatan Prof. Laksono Trisnantoro mengungkap bahwa fitofarmaka miliki khasiat setara obat. Maka dari itu Laksono menyatakan bahwa fitofarmaka sebenarnya dapat dibiayai oleh BPJS Kesehatan. “Pemanfaatan fitofarmaka bisa saja didanai BPJS Kesehatan,” imbuh dia.

Namun fitofarmaka akan bersaing dengan obat ethical lainnya, terutama obat-obatan off paten. Pendanaan fitofarmaka ada tier non-BPJS serta tier BPJS. Jika Indonesia dapat menganggarkan 5% dari GDP untuk kesehatan, ada prospek 2% dari Rp 16 ribu triliun atau sekitar Rp 320 triliun untuk kesehatan.

Peneliti Penyakit dalam dan juga Infeksi FKKMK Universitas Gadjah Mada, Dr. Yanri Wijayanti menjelaskan ada beberapa komponen baku fitofarmaka yang dimaksud meningkatkan daya tahan tubuh pada antaranya echinacea, garlic, ginseng, dan juga meniran. “Saat ini yang tersebut sudah masuk formularium fitofarmaka adalah meniran,” katanya.

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Profesor Reumatologi kemudian Obat Herbal RSUP Dr. Sardjito, Prof. Dr. dr. Nyoman Kertia, Sp.PD-Kr Finasim menanggapi, Komite Nasional Seleksi Fitofarmaka sedang memacu masuknya fitofarmaka ke Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS).

“Kami mengajukan permohonan bantuan teman-teman semua, Bu Ninik, untuk mampu sampai masuk ke puskesmas lalu rumah sakit. Di Sarjito, dokter dalam bangsal sudah memberikan kepada pasien, artinya dokter menerima,” pungkasnya.

Meski demikian, obat-obatan fitofarmaka belum masuk Formularium Nasional program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal hal tersebut diungkapkan salah satu peserta workshop yang tersebut merupakan anggota Tim Ahli Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional, Prof. Taralan Tambunan.

“Kami selama ini sebagai anggota Formularium Nasional belum atau tak pernah memasukkan salah satupun obat-obat fitofarmaka ini sebagai drug therapy pada penggunaannya secara rasional, jadi di tempat Formularium Nasional kami belum pernah memasukkan sebagai terapi apakah itu antihipertensi atau antidiabetes,” ujar Prof. Taralan pada sesi tanya-jawab.

Sementara itu, pada tahun 2015 sebenarnya Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (PP PERDOSSI) pernah mengusulkan salah satu fitofarmaka masuk Formularium Nasional. Hal ini terungkap dari surat rekomendasi yang digunakan diterima wartawan.

Produk Fitofarmaka Sudah Tayang di area E-Katalog
Ketua Tim Kerja Seleksi Fitofarmaka Kemenkes, Ninik Haryati menuturkan, pada UU Kesehatan pasal 1 dijelaskan bahwa sediaan farmasi adalah obat, komponen obat, obat komponen alam, kemudian substansi obat substansi alam.

“Artinya untuk obat komponen alam tak belaka dari tumbuhan tapi dapat hewan lalu jasad renik. Penggolongan obat komponen alam, salah satunya adalah fitofarmaka,” jelasnya.

Terkait dengan kebijakan penyediaan obat tradisional, melalui Permenkes 6/2022 tentang Pemanfaatan Dana Kapitasi, Kemenkes telah lama meluncurkan Formularium Fitofarmaka yang tersebut dapat digunakan sebagai acuan pemakaian fitofarmaka pada prasarana pelayanan kesehatan. Dalam formularium tersebut, ada lima fitofarmaka, salah satunya berkhasiat sebagai imunomodulator berbahan baku meniran.

“Tujuan disusunnya Formularium Fitofarmaka adalah menempatkan fitofarmaka yang dimaksud terpilih dan juga menjadi acuan Dana Alokasi Khusus,” tuturnya.

Penerapan Formularium Fitofarmaka menggunakan Dana Alokasi Khusus juga Dana Kapitasi sesuai dengan kewenangan dan juga dapat digunakan dalam FKTP/Puskesmas dan juga juga Fasilitas Kesehatan Tingkat Rujukan / Lanjutan (FKTRL) seperti klinik utama atau yang digunakan setara.

Dalam rangka peningkatan penyelenggaraan fitofarmaka sudah ada instruksi dari presiden agar mempercepat perizinan lalu mempercepat penayangan hasil di area e-katalog untuk barang dalam negeri terkait kesehatan.

Untuk memacu peningkatan substansi baku dalam negeri, ada Keputusan Menteri Kesehatan bahwa instansi pemerintah baik pusat juga pemerintah melalui pengadaan barang dan juga jasa di tempat e-katalog yang harus memprioritaskan barang dalam negeri.

Dalam e-Katalog sektoral, Kemenkes sudah memfasilitasi melalui etalase Fitofarmaka kemudian OHT. Terkait ini, satuan kerja yang tersebut akan melakukan pengadaan, bisa saja langsung ke etalase tersebut.

Menurut data dari Kemenkes, belanja fitofarma juga OHT tahun 2023 mencapai Rp 11,9 miliar yang mana berasal dari 103 rumah sakit (RS) pemerintah dan juga 118 dinas kesehatan. Oleh RS senilai Rp 2,6 miliar untuk fitofarmaka dan juga Rp 1,8 M untuk OHT, sedangkan dari Dinkes sebesar Rp 6,3 M untuk fitofarmaka kemudian Rp 1,2 M untuk OHT. Kemenkes sudah memfasilitasi adanya Rencana Kerbutuhan Obat (RKO) untuk fitofarmaka, sehingga Puskesmas mampu mengajukan RKO ke Dinkes setempat.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *