Ketua MPR tegaskan pentingnya pembentukan Mahkamah Etik

Ketua MPR tegaskan pentingnya pembentukan Mahkamah Etik

Jakarta – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam kuliah Hukum di area tempat Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu, menyampaikan dengan tegas kepada mahasiswa bahwa pentingnya pembentukan peradilan etik atau Mahkamah Etik sebagai ujung tombak proses penegakan etik dalam Tanah Air.

“Dalam Konvensi Nasional tentang Etika Kehidupan Berbangsa lalu juga Bernegara yang dimaksud diselenggarakan MPR RI, KY, DKPP, lalu pihak terkait lainnya telah diusulkan pentingnya Indonesia membentuk Mahkamah Etik (peradilan etik),” kata Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam keterangannya di dalam tempat Jakarta, Sabtu.

Read More

Bamsoet yang tersebut digunakan juga Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur mengatakan landasan pembentukan Mahkamah Etik ini dapat mengacu kepada TAP MPR Nomor VI MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa lalu juga Bernegara.

Dalam perkuliahan dengan mata ajaran "Politik, Hukum dan Demokrasi" itu, Bamsoet menyoroti pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang tersebut dimaksud saat ini menunggu keputusan untuk dibacakan MKMK pada Selasa (7/11).

Bamsoet mengutip pernyataan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie bahwa berdasarkan kewenangan yang yang ada, sejatinya MKMK tak mampu mengubah hasil gugatan yang mana dimaksud sudah diputuskan MK. Hal ini sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama juga terakhir yang dimaksud mana putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang digunakan dimaksud kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), kata Bamsoet, menyebutkan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan kemudian tak ada ada upaya hukum lagi yang mana dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat.

“Walaupun putusan MK final serta juga binding serta tak ada upaya lain untuk mengubahnya, pembentukan MKMK tetap menemukan urgensinya. Salah satunya untuk menjamin tegaknya kode etik serta pedoman perilaku hakim MK," kata Bamsoet.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menjelaskan lembaga penegak kode etik tak belaka pada MK, tapi juga terdapat dalam dalam berbagai lembaga negara, antara lain, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk menjaga, menegakkan kehormatan, serta keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ada juga Dewan Kehormatan Penyelenggara pilpres (DKPP) untuk memeriksa juga memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang tersebut digunakan dijalankan anggota KPU, anggota KPU provinsi,aAnggota KPU kabupaten/kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu provinsi, kemudian juga anggota Bawaslu kabupaten/kota.

Kemudian Komisi Yudisial (KY) untuk menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, perilaku hakim; menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung serta menjaga juga menegakkan penyelenggaraan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Untuk itu, lanjut Bamsoet, Mahkamah Etik akan menjadi ujung dari proses penegakan etik sehingga setiap putusan etika yang tersebut digunakan diputuskan berbagai penegak kode etik yang tersebut mana terdapat di dalam tempat berbagai lembaga negara maupun organisasi profesi tidak lagi dihadapkan dengan peradilan umum.

Bamsoet yang mana dimaksud juga Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum Unpad itu menerangkan para pencari keadilan yang mana dimaksud divonis bersalah secara etika oleh masing masing penegak kode etik bisa mengajukan banding di tempat dalam Mahkamah Etik.

Tetapi karena Mahkamah Etik belum ada, ujar dia, saat ini orang yang dimaksud dimaksud diputus melakukan kesalahan etika oleh masing-masing penegak kode etik mengajukan banding atau mencari keadilan ke peradilan umum, entah melalui Mahkamah Agung maupun PTUN.

“Padahal antara etika lalu hukum adalah dua hal yang digunakan itu berbeda. Orang yang digunakan digunakan bersalah secara etika belum tentu bersalah pada mata hukum. Namun yang tersebut digunakan bersalah dalam mata hukum sudah pasti bersalah pada mata etika," kata Bamsoet.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *