kaptenberita.com – Makassar – Transaksi perdagangan sebelum abad ke-16 dikenal dengan istilah barter atau pertukaran barang. Misalnya umbi-umbian ditukar dengan rempah-rempah atau beras ditukar dengan ikan, kemudian sebagainya.
Dalam perjalanannya ketika bangsa Eropa masuk ke wilayah Asia Tenggara pada abad ke-16 untuk mencari rempah-rempah, mata uang sudah mulai diperkenalkan, seperti picis dari Tiongkok, yang digunakan mendominasi peredaran uang pada tempat dunia saat itu.
Sementara di area dalam Indonesia yang mana digunakan masih berbentuk kerajaan-kerajaan pada wilayah Nusantara juga sudah mempunyai mata uang lokal. Hingga akhirnya ketika maskapai dagang dari persekutuan Hindia Timur Verenigde Oost-Indishe Companie atau VOC masuk ke wilayah Nusantara juga membawa lalu juga memperkenalkan mata uang Real Spanyol.
Kondisi itu terus berlanjut hingga akhirnya pada tahun 1828 berdiri De Javasche Bank (DJB) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Bank inilah yang dimaksud kemudian menjadi cikal calon Bank Indonesia (BI).
Bank itu berfungsi sebagai bank sirkulasi yang tersebut dimaksud miliki kewenangan mencetak serta mengedarkan uang Golden dalam area wilayah jajahan Hindia Belanda atau Nusantara.
Peran bank itu kemudian berubah mengupayakan kebijakan finansial dalam sistem tanam paksa pada tahun 1830. Bahkan, dalam kurun waktu 1829-1870, DJB memperluas jaringan kegiatan usaha dengan membuka cabang di area area kota-kota besar dalam Nusantara, seperti Semarang kemudian Surabaya pada tahun 1829, kemudian di area dalam Padang lalu juga Makassar pada (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), lalu Pasuruan (1867).
Kegiatan ekspansi pun terus dijalani hingga akhirnya pada 1942 sudah mencapai 15 kantor cabang di tempat area kota-kota strategis untuk menyokong perdagangan lalu penguasaan rempah-rempah bagi Hindia Belanda.
Bank Indonesia pada tahun 1968 juga berperan sebagai agen perkembangan serta pemegang kas negara. Kemudian, fungsi pengaturan lalu pengawasan perbankan yang dimaksud semula ditangani BI, akhirnya diserahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2011, yang dimaksud ditandai dengan pengesahan UU No. 12 Tahun 2011.
Menguatkan peran
Keberadaan bank sentral dalam Indonesia, tertuang dalam UUD 1945 Dasar (UUD) 1945 Pasal 23D.
Pasal yang mana menyebutkan "Negara mempunyai suatu bank sentral yang tersebut mana susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, lalu independensinya diatur dengan undang-undang". Fungsi bank sentral pada negara ini dijalankan oleh Bank Indonesia.
Apabila menelaah perkembangan sejarah BI, maka Indonesia sudah mempunyai bank sentral semenjak 1 Juli 1953. Kondisi urusan kebijakan pemerintah serta situasi negara turut mempengaruhi perkembangan peran kebanksentralan.
Bahkan, pada prakemerdekaan, peran bank sentral masih seputar mencetak uang serta sirkulasi. Dalam perkembangannya, peran BI sebagai bank sentral memiliki tugas pokok menetapkan serta menjalankan kebijakan moneter, mengatur serta menjaga sistem pembayaran tetap lancar juga mengatur serta mengawasi bank.
Tugas pokok ketiga yang dimaksud disebut kemudian diambil alih oleh OJK pada 2011, yang dimaksud mana sebelumnya peran itu dijalankan BI.
Mencermati perjalanan sejarah juga perkembangan peran BI di tempat tempat Indonesia, maka tampak jelas dari masa ke masa peran BI sebagai bank sentral terus diperkuat.
Sebagai gambaran, peran bank sentral dalam kegiatan perekonomian moneter adalah menjaga stabilitas moneter dengan mempertahankan nilai tukar mata uang Rupiah, sementara dalam stabilitas keuangan, bank sentral mempunyai peran mengalokasikan sumber daya perekonomian secara efisien.
Salah satu dari tiga kebijakan moneter yang tersebut digunakan dilaksanakan BI dengan melakukan operasi pasar (OP) terbuka dengan menggandeng mitra strategis, seperti Bulog lalu dinas perdagangan daerah serta mitra terkait lainnya.
Dengan pengadaan OP yang mana menjadi salah satu langkah dalam menjaga inflasi agar bukan bergejolak serta menimbulkan efek domino dari kenaikan nilai jual sembako, sehingga harus dikerjakan OP untuk menstabilkan nilai tukar dalam pasaran.
Kondisi itu sangat akrab pada hari-hari keagamaan, misalnya mendekati Idul Fitra atau Natal serta tahun baru. Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang digunakan diprakarsai BI serta pemerintah daerah turut membantu upaya penstabilan tarif sambako pada lapangan.
Selain berperan menjaga stabilitas moneter, BI juga menjaga stabilitas sistem keuangan (perbankan lalu sistem pembayaran).
Khusus terkait peran BI dalam menjaga stabilitas sistem pembayaran, ini beriringan dengan lahirnya Rupiah. Sistem pembayaran terus berevolusi mengikuti evolusi uang yang digunakan dimaksud digunakan sebagai alat transaksi.
Evolusi uang itu mengikuti sebagian unsur penggerak, seperti inovasi teknologi lalu model bisnis, termasuk tradisi masyarakat.
Sebagai perbandingan, ketika prakemerdekaan RI hingga awal kemerdekaan juga era reformasi, dominan digunakan uang fisik, baik uang kertas maupun uang koin.
Saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia, mau bukan mau transaksi keuangan digital menjadi pilihan alternatif. Ekosistem digital pun terus dibangun.
Hal itu diperkuat dengan lahirnya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dari penemunya, yakni Perry Warjiyo yang tersebut hal tersebut juga Gubernur Bank Indonesia periode 2018-2023. Peluncuran QRIS sebagai pengganti uang fisik dalam bertransaksi secara digital bertepatan dengan momen 17 Agustus 2019.
Keistimewaan QRIS ini oleh sebab itu menjadi standar QR Code nasional pertama dalam dunia. Selain itu, juga dapat digunakan untuk segala macam merchant, baik skala kecil maupun besar.
Meski awal penerapan dalam kalangan masyarakat terbilang lambat, namun saat pandemi COVID-19 terjadi penerapan sistem keuangan digital terus dipacu lalu akhirnya sudah menjadi kebiasaan baru pasca-pandemi.
Bukan semata-mata penduduk di dalam area kota besar pada Indonesia yang tersebut sudah menggunakan transaksi dengan pembayaran digital, namun di area dalam pelosok perdesaan kemudian pesisir pun sudah menggunakan QRIS yang tersebut hal tersebut diluncurkan oleh BI ataupun perusahaan sistem digital digital lainnya.
Saat ini total keseluruhan pengguna QRIS di area tempat Sulawesi Selatan pada triwulan II 2023 sudah mencapai 752 ribu, dengan nominal transaksi QRIS sebanyak Rp794 miliar. Sementara pada periode yang mana dimaksud serupa pengguna QRIS secara nasional sudah mencapai 26,7 juta.
Dari jumlah agregat total tersebut, sebanyak 91,4 persen merupakan pelaku UMKM yang dimaksud tersebar di area dalam Indonesia.
Upaya BI kemudian kantor perwakilannya pada tempat daerah dalam mengedukasi warga agar melek sistem keuangan digital tergambar saat perhelatan Festival Taka Bonerate pada pekan terakhir Oktober 2023.
Jajaran BI Sulsel menggencarkan sosialisasi pemanfaatan QRIS, juga kampanye Cinta Rupiah dalam dalam pulau-pulau kecil pada wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulsel.
Melalui Tim Implementasi Kebijakan Sistem Pembayaran lalu juga Tim Pengelolaan Uang Rupiah, BI Sulsel menjadi salah satu mitra pemerintah daerah terus menyosialisasikan pembayaran digital.
Mencermati semua itu, dari dulu kemudian kini, BI sudah dapat dilihat lalu juga dirasakan peran strategisnya. Sementara peran BI selaku bank sentral, tentu akan semakin diperkuat, mengingat beratnya tantangan global serta lokal yang dimaksud mana harus dihadapi.
Tentu keberhasilan yang dimaksud sudah diraih maupun yang tersebut akan ditapaki ke depan, tidaklah terlepas dari dukungan semua pihak yang mana mana mau bahu-membahu menguatkan sistem keuangan kemudian stabilitas keuangan nasional menghadapi tantangan global.